Pengaturan HKI secara pokok (dalam UU) dapat dikatakan telah lengkap
dan memadai. Lengkap, karena menjangkau ke-tujuh jenis HKI. Memadai, karena
dalam kaitannya dengan kondisi dan kebutuhan nasional, dengan beberapa catatan,
tingkat pengaturan tersebut secara substantif setidaknya telah memenuhi syarat
minimal yang “dipatok” di Perjanjian Internasional yang pokok di bidang HKI.
Sejalan dengan masuknya Indonesia sebagi anggota WTO/TRIP’s dan diratifikasinya
beberapa konvensi internasional di bidang HKI sebagaimana dijelaskan pada
pengaturan HKI di internasional tersebut di atas, maka Indonesia harus
menyelaraskan peraturan perundang-undangan di bidang HKI. Untuk itu, pada tahun
1997 Pemerintah merevisi kembali beberapa peraturan perundangan di bidang HKI,
dengan mengundangkan :
1) Undang-undang No. 12 Tahun 1997 tentang
Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang No. 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta,
2) Undang-undang No. 13 Tahun 1997 tentang
Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun 1989 tentang Paten,
3) Undang-undang No. 14 Tahun 1997 tentang
Perubahan atas Undang-undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek
Selain ketiga undang-undang tersebut di atas, undang-undang HKI yang
menyangkut ke-tujuh HKI antara lain :
1) Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta
2) Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten
3) Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merk
4) Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang
Rahasia Dagang
5) Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain
Industri
6) Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain
Tata Letak Sirkuit Terpadu
7) Undang-undang No. 29 Tahun 2000 tentang
Perlindungan Varietas Tanaman
Dengan pertimbangan masih perlu dilakukan penyempurnaan terhadap
undang-undang tentang hak cipta, paten, dan merek yang diundangkan tahun 1997,
maka ketiga undang-undang tersebut telah direvisi kembali pada tahun 2001.
Selanjutnya telah diundangkan:
- Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten
- Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek
(khusus mengenai revisi UU tentang Hak Cipta saat ini masih dalam
proses pembahasan di DPR)
Peraturan
perundangan yang berlaku sangat banyak, tetapi melihat pelaksanaannya sekarang
ini makin banyak pelanggaran-pelanggaran. Umumnya pelanggaran hak cipta
didorong untuk mencari keuntungan finansial secara cepat dengan mengabaikan
kepentingan para pencipta dan pemegang izin hak cipta. Hal ini bisa dibuktikan
dengan semakin maraknya pembajakan-pembajakan hasil karya ciptaan seseorang.
Sebagai contoh yang lebih konkret yaitu pembajakan kaset-kaset VCD.
Faktor-faktor yang mempengaruhi warga masyarakat untuk melanggar HKI, yaitu :
- Dilakukan untuk mengambil jalan pintas guna mendapatkan keun-tungan yang sebesar-besarnya dari pelanggaran tersebut.
- Para pelanggar menganggap bahwa sanksi hukum yang dijatuhkan oleh pengadilan selama ini terlalu ringan bahkan tidak ada tindakan preventif maupun represif yang dilakukan oleh para penegak hukum.
- Dengan melakukan pelanggaran, pajak atas produk hasil pelanggaran tersebut tidak perlu dibayar kepada pemerintah.
- Masyarakat tidak memperhatikan apakah barang yang dibeli tersebut asli atau palsu (aspal), yang penting bagi mereka harganya murah dan terjangkau dengan kemampuan ekonomi.
Indonesia
merupakan negara yang memiliki kedaulatan hukum, namun dalam menegakkan hukum
harus mendapat kontrol dan tekanan dari negara asing. Tidak mengherankan
apabila penegakan hukum di negeri ini tidak dapat dilakukan secara konsisten.
Salah satu contoh nyata adalah pada saat mulai diberlakukannya Undang-undang
No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta pada tanggal 29 Juli 2003, hampir seluruh
pedangang CD, VCD dan DVD bajakan tidak tampak di pinggir jalan. Namun beberapa
minggu kemudian, sedikit-demi sedikit para pedagang tersebut mulai tampak
menggelar kembali barang dagangannya, dan hingga sampai saan ini mereka dengan
sangat leluasa dan terang-terangan berani menjual barang dagangannya di tempat
keramaian. Kondisi ini semakin diperburuk dengan tindakan para aparat penegak
hukum yang hanya melakukan razia terhadap para pedagang tetapi tidak terhadap
sumber produk bajakan tersebut, sehingga produksi barang bajakan terus
berlanjut. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah belum secara tuntas
menyelesaikan masalah pembajakan, oleh karena itu masih terdapat produsen yang
memproduksi barang bajakan tersebut yang belum tersentuh oleh aparat penegak
hukum. Jika memang niat pemerintah adalah untuk memberantas praktek pembajakan,
maka tanpa pengenaan cukai terhadap produksi rekamanpun sebenarnya hal tersebut
sudah dapat dilakukan sejak belakunya UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Namun dalam kenyataannya, praktek perdagangan barang ilegal tersebut bukan
semakin berkurang, malahan semakin marak diperdagangkan di kaki lima.
Contoh-contoh
lain mengenai pelanggaran HKI yaitu :
- Jakarta Tahun 2009 mencatat hasil kurang menggembirakan untuk urusan pembajakan software di Indonesia. Dari hasil riset yang dikeluarkan IDC terungkap bahwa aktivitas pembajakan software di Tanah Air justru kian melonjak. Dari riset itu Indonesia ditempatkan di posisi ke12 sebagai negara dengan tingkat pembajakan software terbesar di dunia.
- Pelanggaran yang merugikan kepentingan negara, misalnya mengumumkan ciptaan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan.
- Pelanggaran yang bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, misalnya memperbanyak dan menjual video compact disc (vcd) pomo.
Referensi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar